Rabu, Februari 11, 2009

"Hakikat Langit"

Di dalam Al-Qur'an dan hadits sering kita jumpai tentang ungkapan langit, khususnya dalam ungkapan 'tujuh langit'. Apakah hakikat langit? Apakah langit biru di atas sana?
Pengetahuan saat ini menunjukkan bahwa langit biru hanyalah disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Di luar atmosfer bumi warna biru tak ada lagi, yang ada hanya titik-titik cahaya bintang, galaksi, dan benda-benda langit lainnya. Jadi, langit bukan hanya kubah biru yang di atas sana.
Di dalam Q.S. Al-Baqarah:29 Allah berfirman:
"...Kemudian Dia menuju langit, maka disempurnakannya tujuh langit...."

Ada dua hal yang menarik dalam ayat ini; (1) 'maka disempurnakannya' (fasawaahunna) (2) 'tujuh langit' (sab'a samawaati). Pertama akan dibahas masalah 'tujuh langit'.Pemahaman bilangan 'tujuh' dalam beberapa hal di dalam Al-Qur'an tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem desimal. Hingga ungkapan 'tujuh langit' yang sering digambarkan sebagai 'tujuh lapis langit' oleh para mufassirin lama (apalagi dalam kisah Isra' Mi'raj) mesti dikaji ulang. Konsep 'tujuh lapis langit' sering mengacu pada konsep geosentrik yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta yang dilingkupi oleh lapisan-lapisan langit. Misalnya dalam salah satu tafsir disebutkan bahwa bulan berada di langit pertama dan matahari berada di langit ke empat.Di dalam Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan:
"Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan tujuh tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah melipatgandakan pahala orang-orang yang dikehendakinya...."
Juga di dalam Q.S. Luqman:27:
"Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah...."
Jadi 'tujuh langit' lebih mengena bila difahamkan sebagai tatanan benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya. Langit itu sendiri bermakna sesuatu yang di atas kita, hingga semua benda di luar bumi, yang kita pandang berada di atas kita, merupakan bagian dari langit.
Kemudian 'penyempurnaan langit', mengandung kesan bahwa langit memang 'belum sempurna', dalam arti proses pembentukkannya belum berakhir. Saya sengaja memilih kata 'menyempurnakan' untuk 'fasawaahunna' yang sering diartikan 'menjadikan' yang berkesan langsung jadi. Ini mudah difahami bila kita membandingkan Q.S.79:27-30 ("...dan bumi itu -- sesudah penciptaan langit -- dihamparkan-Nya") dan Q.S.41:9-11 ("...kemudian menuju penciptaan langit dan langit itu masih berupa kabut...."). Ayat yang pertama mengandung kesan bumi diciptakan sesudah langit. Sedangkan pada yang kedua diungkapkan bahwa langit diciptakan sesudah bumi. Keduanya tidaklah bertentangan kalau difahami bahwa penciptaan langit merupakan proses yang berlanjut. Langit (galaksi-galaksi beserta bintang-bintangnya dan segala komponennya) memang lahir lebih dahulu dari pada bumi. Tetapi sesudahnya, 'penyempurnaannya' terus berlangsung dengan kelahiran bintang-bintang baru. Pengamatan astronomi memang mengungkapkan bahwa kelahiran dan kematian bintang-bintang terus terjadi.
Pengamatan dan telaah teoritik mengukuhkan bahwa bintang-bintang lahir di dalam awan molekul raksasa, yang dalam Q.S.41:11 disebut 'dukhan' (kabut). Ukuran awan antar bintang tersebut sekitar 100 tahun cahaya (1 tahun cahaya adalah jarak tempuh cahaya dalam waktu satu tahun = 9,46 trilyun kilometer; bandingkan dengan jarak bumi-matahari yang hanya sekitar 8 menit cahaya) dengan massa totalnya sekitar sejuta kali massa matahari (massa matahari sendiri sekitar 300.000 kali massa bumi).
Dengan penjelasan di atas, kita fahami bahwa 'tujuh langit' yang berulang kali diungkapkan di dalam Al-Qur'an mengacu pada tatanan benda-benda langit (galaksi, bintang, planet, komet, batuan dan gas) yang tak terhitung banyaknya yang terus berevolusi: lahir, menjadi tua dan akhirnya mati.


0 komentar: